Minggu, 23 Maret 2008

Pandangan Umum Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 terhadap Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Kami sebagai korban stigma pembunuhan kasus HAM berat tahun 1965/1966 memandang secara umum substansi Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR), sebagai berikut:

1. yang diperlukan dalam upaya mengungkap kebenaran pelanggaran HAM berat di masa lalu dan di masa yang akan datang tidak dengan mengeluarkan RUU KKR ini karena kata “Rekonsiliasi” tidak berpihak dan tidak memenuhi keadilan bagi korban, melainkan kepada pelaku dengan memberi peluang adanya pengampunan (impunitas) yang bertentangan dengan prinsip HAM. Selain itu, rekonsiliasi tidak perlu diakomodir dalam perangkat hukum tetapi bisa diwujudkan dalam interaksi sosial jika proses perolehan kebenaran dan keadilan yang berpihak kepada korban sudah dilaksanakan.

2. dalam pembuatan RUU KKR harus melibatkan korban sebagai upaya partisipasi publik yang diatur dalam UU No.10 tahun 2002 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sementara pembuatan RUU KKR ini tidak melibatkan korban secara meluas.

3. RUU KKR yang dibuat ini harus mampu memenuhi hak dasar, aspirasi, serta kebutuhan korban.

4. RUU KKR hanya mementingkan kemauan pelaku, pada hakekatnya merupakan bentuk diskriminasi atas hukum dan karenanya harus ditolak.

5. RUU KKR ini tidak berpihak dan tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban, justru menguntungkan pelaku dengan memberi peluang adanya pengampunan (impunitas). Konsep rekonsiliasi yang tertuang dalam RUU KKR ini sangat membuka peluang bagi terselenggaranya pengampunan yang dapat meminggirkan rasa keadilan bagi korban. Terlebih posisi tawar politik korban yang masih lemah dihadapan kekuasaan, seperti tidak ada perwakilan politis dari korban di lembaga-lembaga Negara yang dapat mengintervensi kebijakan yang mengatur kebijakan HAM berat.

6. adanya dalil untuk terciptanya “Perdamaian dan Persatuan Bangsa” di dalam RUU KKR ini dapat menghambat tuntutan korban kerena justru sebaliknya dengan pengungkapan kebenaran akan memperkuat kepercayaan publik kepada Negara, baik nasional atau internasional serta akan mendukung proses rekonsiliasi.

7. kasus-kasus pelanggaran HAM berat di RUU KKR ini tidak menyebutkan dengan jelas rentang waktu kasus masa lalu yang ditangani sehingga akan menyulitkan agenda pengungkapan kasus. Kami mengusulkan dimulai dengan pengungkapan kasus 1965 karena kasus tersebut merupakan pelanggaran HAM berat yang pertama di masa orde baru yang menimbulkan begitu banyak korban. Selain itu, kasus-kasus yang ditangani mengacu pada UU No. 26 tahun 2000 dimana target kerja yang hanya sebelum pemberlakuan dan membuka peluang pelanggaran HAM berat di masa yang akan datang.

8. dalih pemerintah yang menginginkan rekonsiliasi dalam rangka terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa justru akan menghambat korban dan human rights defender dalam proses pengungkapan kebenaran dan pemenuhan keadilan pelanggaran HAM berat. Hal ini merupakan upaya Negara dalam melanggengkan impunitas. Rekonsiliasi dapat berjalan dengan efektif jika proses pengungkapan kebenaran dan pemenuhan keadilan telah dilaksanakan.

9. pemilihan anggota komisi masih bersifat diskriminatif dan tidak proporsional karena masih mempertimbangkan calon anggota berdasarkan geografi, etnis, agama, dan kepakaran. Setiap anggota komisi harus berpihak penuh kepada korban dan kapabel.

10. RUU KKR ini tidak mendefinisikan pelaku sehingga terkesan melindungi pelaku dari proses hukum sebagai landasan dari prinsip kebenaran dan keadilan.

11. kewenangan komisi di RUU KKR ini terbatas pada rekomendasi pemberian rekomendasi, pemberian amnesti, rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi. Komisi ini juga seharusnya merekomendasikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat untuk diteruskan ke pengadilan umum atau HAM.

12. RUU KKR ini tidak memiliki perspektif keadilan bagi korban karena hanya memberikan amnesti, rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi kepada korban yang hanya bersifat material belaka. Padahal, hakikat keadilan bagi korban adalah pengembalian hak-hak dasar korban sebelum terjadinya pelanggaran HAM berat tersebut.

13. komisi ini dapat diintervensi oleh kekuasaan karena melalui mekanisme pemilihan oleh DPR dan proses kerjanya oleh Presiden. Padahal, demi kebenaran dan keadilan dibutuhkan indepedensi yang besar dari kekuasaan legislasi dan eksekusi pemerintahan.

Atas dasar pertimbangan tersebut, kami dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 menuntut:

1. menolak RUU KKR karena tidak berpihak kepada korban

2. meminta Departemen Hukum dan HAM menolak draf RUU KKR

3. diperlukan undang-undang yang dapat mengungkap kebenaran atas kasus-kasus pelanggaran HAM dimana undang-undang tersebut dapat memenuhi tuntutan keadilan bagi korban yang tidak bisa diakomodir dalam RUU KKR ini

4. mengusulkan agar disusun Undang-undang Komisi Kebenaran dan Keadilan yang lebih berpihak kepada korban sebagai pengganti dari RUU KKR dengan melibatkan komunitas korban secara luas untuk mendapatkan substansi dasar dari kebenaran dan keadilan.

Demikianlah pandangan umum kami terhadap RUU KKR ini. Semoga Departemen Hukum dan HAM mempertimbangkannya.

Hormat kami,

Bedjo Untung

Ketua YPKP 1965/1966

Pernyataan Sikap YPKP ‘65-'66 Atas Meninggalnya Suharto


Sehari setelah mantan penguasa rezim orde baru Suharto meninggal, kita dikejutkan dengan pemberitaan pers yang mengangkat kebohongan informasi, dimana media mencoba memprovokasi rakyat dengan menyiarkan berbagai kebaikan mantan petinggi orde baru tersebut tanpa melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa kehancuran Indonesia saat ini adalah warisan dari rezim orde baru Suharto yang memerintah secara otoriter, mengabaikan prinsip-prinsip HAM, merampas harta-harta rakyat dengan sewenang-wenang, dan merusak lingkungan/menguras habis sumber daya, sehingga rakyat Indonesia menjadi miskin karena harus menanggung beban hutang sebagai warisan pemerintahannya serta menimbulkan krisis multidimensional yang berkepanjangan. Sulit bagi kami untuk menerima pemberitaan bahwa Suharto merupakan yang paling bertanggung jawab atas kehancuran bangsa ini.

Oleh karena itu, kami dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 dengan ini menyataikan bahwa:

1. Menuntut Pemerintah atau Kejaksaan Agung untuk terus mengusut tuntas kasus kejahatan Suharto beserta kroni/pendukung/pelaksana lapangan yang menerima tugas langsung maupun tidak langsung, terkait kejahatan kemanusiaan maupun kejahatan kriminal pencurian uang rakyat, meskipun Suharto meninggal dunia.

2. Menuntut Negara menyita seluruh aset kekayaan keluarga Suharto beserta kroninya untuk dikuasai oleh Negara untuk dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat khususnya korban Pelanggaran HAM.

3. Menolak pengibaran bendera setengah tiang selama tujuh hari berturut-turut, karena Suharto merupakan terdakwa kasus penggelapan uang di tujuh yayasan, pencuri uang rakyat terbesar di dunia (menurut catatan PBB), serta sebagai penjahat kemanusiaan terkait pembunuhan massal tahun 1965/1966 dimana sekurang-kurangnya 500 ribu s/d tiga juta rakyat tidak bersalah dibunuh tanpa proses hukum.

4. Hentikan pemberitaan pers (elektronika, cetak) yang berpotensi membohongi publik dalam kasus Suharto, karena ia tidak layak menyandang predikat Bapak Pembangunan karena pada kenyataannya Indonesia hancur lebur akibat kebijakan yang dibuatnya.

DEMI TEGAKNYA KEADILAN DAN KEBENARAN HUKUM HARUS DITEGAKKAN.

PEMERINTAH YANG BIJAKSANA AKAN MENEGAKKAN HUKUM YANG ADIL DI NEGARANYA,

MEDIA YANG BAIK TIDAK AKAN MENYAJIKAN KEBOHONGAN INFORMASI UNTUK RAKYATNYA.


Jakarta, 28 Januari 2008.

Bejdo Untung

Ketua YPKP 65


Beberapa Peristiwa Pelanggaran HAM di Era Soeharto :

Harian Kompas, Senin, 29/1/2008.

1. Aceh (1976 – 1983): Pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas

2. Aceh (1989 – 1998): Operasi militer II, korban tewas 119 orang

3. Jakarta (1984): Peristiwa Tanjung Priok, korban tewas 24 orang, luka berat 36 orang, luka ringan 19 orang

4. Jakarta (1996): Peristiwa 27 Juli, korban simpatisan dan warga PDI, korban tewas 5 orang, luka-luka 149 orang, hilang 23 orang, serta 124 orang ditangkap dan ditahan.

5. Majalengka (1993): Peristiwa Haor Koneng, korban tewas 5 orang, luka berat 8 orang, luka ringan 7 orang

6. Jawa (1965): Peristiwa G30S, korban tewas berkisar 78.000 sampai 3 juta jiwa.

7. Jawa (1981 – 1983): Penembak misterius atau “Petrus”, korban diduga pelaku kriminal, mencapai 5.000 orang. Terjadi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.

8. Jawa (1985 – 1988): Penyiksaan Kelompok Usro, Korban aktivis Muslim

9. Madura (1993): Peristiwa Waduk Nipah, Sampang, korban tewas 4 orang.

10. Pulau Buru (1969 – 1979): Penahanan aktivis politik, sekurangnya 10.000 orang.

11. Papua (1976 – 1995): Pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas, korban tewas, cacat, penyiksaan, penculikan, dan hilang sekitar 100.000 jiwa


Kronologi Kasus Dugaan Korupsi Soeharto

Senin, 31 Mei 2004 17:13 WIB

TEMPO Interaktif:

1 September 1998

Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto, dari anggaran dasar lembaga tersebut.

6 September 1998

Soeharto mengumumkan kekayaannya melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). "Saya tidak punya uang satu sen pun...," kata Soeharto. Dalam wawancara dengan TPI, Soeharto menyatakan tak memiliki kekayaan seperti pernah dilansir media massa.

9 September 1998

Tim Konsultan Cendana meminta kepada Presiden serta Menteri Pertahanan dan Keamanan agar memberikan perhatian ekstraketat dan melindungi Soeharto dari penghinaan, cercaan, dan hujatan.

11 September 1998

Pemerintah Swiss menyatakan bersedia membantu pemerintah RI melacak rekening-rekening Soeharto di luar negeri.

15 September 1998

Jaksa Agung Andi M. Ghalib ditunjuk sebagai Ketua Tim Investigasi Kekayaan Soeharto.

21 September 1998

Jaksa Agung Andi M. Ghalib berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Cendana untuk mengklarifikasi kekayaan Soeharto.

25 September 1998

Soeharto datang ke Kantor Kejaksaan Agung untuk menyerahkan dua konsep surat kuasa untuk mengusut harta kekayaannya, baik di dalam maupun di luar negeri.

29 September 1998

Kejagung membentuk Tim Penyelidik, Peneliti dan Klarifikasi Harta Kekayaan Soeharto dipimpin Jampidsus Antonius Sujata.

13 Oktober 1998

Badan Pertanahan Nasional mengumumkan tanah Keluarga Cendana tersebar di 10 provinsi di Indonesia.

22 Oktober 1998

Andi M Ghalib menyatakan, keputusan presiden yang diterbitkan mantan presiden Soeharto, sudah sah secara hukum. Kesalahan terletak pada pelaksanaannya.

28 Oktober 1998

Tim Pusat Intelijen Kejaksaan Agung memeriksa data tanah peternakan Tapos milik Soeharto.

21 November 1998

Presiden Habibie mengusulkan pembentukan komisi independen mengusut harta Soeharto. Tapi, usulan ini kandas.

22 November 1998

Soeharto menulis surat kepada Presiden Habibie, isinya tentang penyerahan tujuh yayasan yang dipimpinnya kepada pemerintah.

2 Desember 1998

Presiden Habibie mengeluarkan Inpres No. 30/1998 tentang pengusutan kekayaan Soeharto.

5 Desember 1998

Jaksa Agung mengirimkan surat panggilan kepada Soeharto.

7 Desember 1998

Di depan Komisi I DPR, Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan: Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora. Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp 4,014 triliun. Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar, Rp 23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana.

9 Desember 1998

Soeharto diperiksa Tim Kejaksaan Agung menyangkut dugaan penyalahgunaan dana sejumlah yayasan, program Mobil Nasional (mobnas), kekayaan di luar negeri, perkebunan dan peternakan Tapos.

9 Desember 1998

Soeharto diperiksa oleh Tim 13 Kejaksaan Agung diketuai JAM. Pidsus Antonius Sujata selama 4 jam di Gedung Kejaksaan Tinggi Jakarta. Dengan alasan keamanan Soeharto, tempat pemeriksaan tidak jadi dilakukan di Gedung Kejaksaan Agung.

28 Desember 1998

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hasan Basri Durin mengungkapkan, keluarga Cendana atas nama pribadi dan badan hukum atau perusahaan menguasai 204.983 hektare tanah bersertifikat hak guna bangunan (HGB) dan hak milik (HM).

30 Desember 1998

Mantan Wakil Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo, seusai dimintai keterangan di Kejaksaan Agung, menyatakan pembuatan Keppres dan Inpres tentang proyek mobil nasional Timor adalah perintah langsung dari mantan presiden Soeharto.

12 Januari 1999

Tim 13 Kejaksaan Agung mengungkapkan, mereka menemukan indikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto.

4 Februari 1999

Kejaksaan Agung memeriksa Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung Soeharto, sebagai bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dipimpin Soeharto.

9 Februari 1999

Soeharto melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya mengembalikan uang negara sebesar Rp 5,7 triliun.

9 Februari 1999

Jaksa Agung Andi M. Ghalib melaporkan hasil investigasi 15 kedutaan besar RI yang menyimpulkan tidak ditemukan harta kekayaan Soeharto di luar negeri. Laporan dari Belanda menyebutkan ada sebuah masjid di daerah Reswijk, Belanda yang dibangun atas sumbangan Probosutedjo, adik tiri Soeharto. Kastorius Sinaga, anggota Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita), meragukan laporan Jaksa Agung itu.

11 Maret 1999

Soeharto, melalui kuasa hukumnya, Juan Felix Tampubolon, meminta Jaksa Agung menghentikan penyelidikan terhadapnya atas dugaan KKN.

13 Maret 1999

Soeharto menjalani pemeriksaan tim dokter yang dibentuk Kejaksaan Agung di RSCM.

16 Maret 1999

Koran The Independent, London, memberitakan Keluarga Cendana menjual properti di London senilai 11 juta poundsterling (setara Rp 165 miliar).

26 Mei 1999

JAM Pidsus Antonius Sujata, Ketua Tim Pemeriksaan Soeharto dimutasikan.

27 Mei 1999

Soeharto menyerahkan surat kuasa kepada Kejagung untuk mencari fakta dan data berkaitan dengan simpanan kekayaan di bank-bank luar negeri (Swiss dan Austria) .

28 Mei 1999

Soeharto mengulangi pernyataannya, bahwa dia tidak punya uang sesen pun.

30 Mei 1999

Andi Ghalib dan Menteri Kehutanan Muladi berangkat ke Swiss untuk menyelidiki dugaan transfer uang sebesar US$ 9 miliar dan melacak harta Soeharto lainnya.

11 Juni 1999

Muladi menyampaikan hasil penyelidikannya bahwa pihaknya tidak menemukan simpanan uang Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria.

9 Juli 1999

Tiga kroni Soeharto yaitu Bob Hasan, Kim Yohannes Mulia dan Deddy Darwis diperiksa Kejagung dalam kasus yayasan yang dikelola Soeharto.

19 Juli 1999

Soeharto terserang stroke dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.

11 Oktober 1999

Pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti. Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto. Aset yang ditemukan diserahkan kepada pemerintah.

6 Desember 1999

Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid membuka kembali pemeriksaan kekayaan Soeharto.

6 Desember 1999

Jaksa Agung baru, Marzuki Darusman mencabut SP3 Soeharto.

29 Desember 1999

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan Soeharto atas pencabutan SP3.

14 Februari 2000

Kejagung memanggil Soeharto guna menjalani pemeriksaan sebagai tersangka tapi tidak hadir dengan alasan sakit.

16 Februari 2000

Jaksa Agung Marzuki Darusman membentuk Tim Medis untuk memeriksa kesehatan Soeharto.

31 Maret 2000

Soeharto dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang dipimpinnya.

3 April 2000

Tim Pemeriksa Kejagung mendatangi kediaman Soeharto di Jalan Cendana. Baru diajukan dua pertanyaan, tiba-tiba tekanan darah Soeharto naik.

13 April 2000

Soeharto dinyatakan sebagai tahanan kota.

29 Mei 2000

Soeharto dikenakan tahanan rumah.

7 Juli 2000

Kejagung mengeluarkan surat perpanjangan kedua masa tahanan rumah Soeharto.

14 Juli 2000

Pemeriksaan Soeharto dinyatakan cukup dengan meminta keterangan 140 saksi dan siap diberkas Tim Kejagung.

15 Juli 2000

Kejagung menyita aset dan rekening yayasan-yayasan Soeharto.

3 Agustus 2000

Soeharto resmi sebagai tersangka penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya dan dinyatakan sebagai terdakwa berbarengan dengan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Jakarta.

8 Agustus 2000

Kejaksaan Agung menyerahkan berkas perkara ke PN Jakarta Selatan.

22 Agustus 2000

Menkumdang Yusril Ihza Mahendra menyatakan proses peradilan Soeharto dilakukan di Departemen Pertanian, Jakarta Selatan.

23 Agustus 2000

PN Jakarta Selatan memutuskan sidang pengadilan HM Soeharto digelar pada 31 Agustus 2000 dan Soeharto diperintahkan hadir.

31 Agustus 2000

Soeharto tidak hadir dalam sidang pengadilan pertamanya. Tim Dokter menyatakan Soeharto tidak mungkin mengikuti persidangan dan Hakim Ketua Lalu Mariyun memutuskan memanggil tim dokter pribadi Soeharto dan tim dokter RSCM untuk menjelaskan perihal kesehatan Soeharto.

14 September 2000

Soeharto kembali tidak hadir di persidangan dengan alasan sakit.

23 September 2000

Soeharto menjalani pemeriksaan di RS Pertamina selama sembilan jam oleh 24 dokter yang diketuai Prof dr M Djakaria. Hasil pemeriksaan menunjukkan, Soeharto sehat secara fisik, namun mengalami berbagai gangguan syaraf dan mental sehingga sulit diajak komunikasi. Berdasar hasil tes kesehatan ini, pengacara Soeharto menolak menghadirkan kliennya di persidangan.

28 September 2000

Majelis Hakim menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan karena alasan kesehatan. Majelis juga membebaskan Soeharto dari tahanan kota.

Pusat Data dan Analisa Tempo

http://www.tempointeraktif.com/hg/timeline/2004/05/31/tml,20040531-01,id.html